Jangan Sombong dan ‘Ujub Wahai Jiwa…
Engkau ini Belumlah “Apa-Apa”
Hei kamu.. iya kamu, yang bernama jiwa manusia…
Kamu merasa sudah lama mengaji, banyak ilmu yang
dikuasai, berasa otak cerdas sekali…
berduyun-duyun orang bertanya padamu sana-sini…
berduyun-duyun orang bertanya padamu sana-sini…
Lalu kamu ingin memuji diri?
Hei, fiqh perbandingan madzaahib apa
sudah semuanya kau kuasai? Atau kau merasa ilmumu sepantaran Imam Al-Bukhari
dan An-Nawawi? Hingga kamu merasa pintar sendiri? Kemudian kau membuat orang
merasa bodoh dengan sikapmu yang “sok tinggi”.
Janganlah demikian… Ilmu Allah laksana samudera
tak bertepi. Pun di atas langit keilmuan seseorang, masih ada langit di atasnya
lagi. Di atas itu semua ada Dzat yang Maha Mengetahui.
Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman,
“… dan
di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.”
(Qs. Yusuf: 76)
“Ada yang
berkata bahwa sesungguhnya ilmu itu terdiri dari tiga jengkal. Jika seseorang
telah menapaki jengkal yang pertama, maka dia menjadi tinggi hati (takabbur).
Kemudian, apabila dia telah menapaki jengkal yang kedua, maka dia pun menjadi
rendah hati (tawadhu’). Dan bilamana dia telah menapaki jengkal yang ketiga,
barulah dia tahu bahwa ternyata dia tidak tahu apa-apa.” (Dinukil dari kitab Hilyah
Thalibil ‘Ilmi, buah pena Syaikh Bakr ibn ‘Abdillaah Abu Zaid rahimahullaah).
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
“Tidak
akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar
biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka
memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu
indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain.“ (HR. Muslim)
“Rendah
hatilah…jadilah laksana bintang bercahaya yang tampak di bayangan air yang
rendah, padahal sebenarnya dia berada di ketinggian. Jangan menjadi laksana
asap, yang membumbung tinggi dengan sendirinya di lapisan udara yang tinggi,
padahal sebenarnya dia rendah.”
Kamu, yang mengaku meniti Jalan Salaful ummah… Coba lihat akhlakmu ini! Mulut kotor penuh
hujatan, mencela, dan memaki! Mana sajakah dari akhlak mereka yang kau tepati?
Coba kau hitung dengan jari! Pandai mengaku tapi tak jua baik budi!
“Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan
Laila, namun Laila tak membenarkan pengakuan mereka.”
Janganlah demikian… Pengakuan itu tidak hanya
sekadar di lisan belaka, namun harus dibuktikan dengan amalan yang nyata wahai
yang bernama jiwa…
Kamu.. yang sudah berpakaian syar’i.. Kamu
melirik sinis ke akhawat baru mulai serius belajar agama, merendahkan mereka
dengan gelagatmu yang membuat mereka jengah. Apa engkau mengira dirimu ini
sudah shaalihah setengah mati ?!
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,
“..Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.” (Qs. An-Najm:32)
Janganlah demikian.. berpakaian syar’i tidak
serta merta menjadikan diri kita seutuhnya baik dan suci. Bisa jadi di sisi
lain mereka lebih baik darimu, karena ternyata, mungkin dianara yang berjilbab
syar’i masih ada yang suka ber-ghibah tentang itu dan ini? Janganlah merasa
surga sudah engkau booking sendiri.
Kamu, yang sudah menghafal Al-Qur’an seluruhnya… Tak
usahlah merasa paling hebat sedunia. Apa tajwidnya sudah benar kau terapkan
dengan sempurna? Apa hafalanmu mencapai derajat “itqaan” di luar
kepala?
Kamu, yang sudah menghafal hadits ribuan
banyaknya…Tidak perlu kau rasa otakmu paling kencling sejagat raya. Baiklah,
kamu mungkin sudah berhasil menghafal sekaliber Shahih Bukhari. Tapi apakah
kamu sudah menguasai dan menghafal berbagai kitab induk hadits lainnya? Lengkap
dengan penjelasannya? Plus menguasai serba-serbi ilmu tentang haditsnya?
Janganlah demikian…Sesungguhnya hafalanmu bukan
untuk sekadar berbangga-bangga belaka. Apa engkau sudah mentadabburi isinya?
Kau amalkan yang kau hafal dan baca? Belum tentu semua yang kau hafalkan, dapat
benar-benar kau amalkan dalam kehidupan nyata. Berhati-hatilah tercabutnya
nikmat hafalan itu semua, kala hatimu lengah mencari ridha manusia.
Kamu, yang pandai menghias bacaan Al-Qur’anmu… Mungkin
suaramu itu seperti Syaikh Fahd Al-Kandari. Atau tajwidmu secermat Syaikh
Al-Hudzaifi. Lantas kamu jadi pamer dan berbangga hati? Subhaanallah? membaca
Al-Qur’an kok hanya ingin dipuji: “Maa Syaa Allaah…suara dan cengkok
lagunya indah sekali…“.
Janganlah demikian…Sesungguhnya memiliki suara indah hanyalah
anugrah sekaligus fitnah dari Allah bagi diri. Jika kamu terus berbangga hati,
bisa jadi nikmat suara indahmu nanti dicabut oleh Allah, hingga suaramu jadi
sumbang, atau malah tak memiliki pita suara sama sekali [wal’iyaadzubillaah].
Syukurilah dan gunakan itu untuk menambah pahala bagi dirimu sendiri.
“… dan
apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila
kamu ditimpa oleh kemadharatan, Maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan.” (Qs. An-Nahl : 53).
Kamu, si pintar
dari universitas ternama…
Apa sih
sumbangsihmu bagi negara dan agama? Tak usahlah kau jadi besar kepala! Kalaupun
kau sudah menyumbang manfaat bagi sesama, belum tentu itu kan berbuah pahala.
Iya, karena tendensimu ternyata tak lebih dari perkara dunia semata, bukan
karena ikhlas mencari ridha-Nya.
Kamu, yang bisa baca kitab dan berbahasa arab…Mengapa
hal itu membuatmu begitu tinggi hati? Kesalahan wajar pemula kau caci maki.
Bercerminlah terhadap diri, Apakah dahulu engkau tak pernah tersalah dalam
belajar sama sekali?
Kamu, yang bergelimang harta…Memandang orang tak
punya dengan sebelah mata. Lagakmu itu bak dunia milik pribadimu saja. Untuk
urusan sedekah, Subhaanallaah… begitu pelitnya.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (Qs. At-Taghabun: 15)
Kamu, yang (katanya) berjihad di jalan Allah
menegakkan agama-Nya… Klaim mu telah “mengorbankan segalanya“. Belum
tentu amalanmu diakui di sisi-Nya. Iya, karena dengan amalanmu, kamu berbuat
‘ujub dan riya! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga
perkara yang membinasakan: rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan
ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam
Al-Ausath)
Kamu, penulis nasihat yang (katanya) bijak dan
disukai… Apa kau pikir tulisanmu itu paling cemerlang sendiri? Lalu kamu jadi
berbangga hati? Merasa sudah jadi penasihat sejati? Amboi, berkacalah diri..
jangan-jangan kamu bak lilin yang membakarmu sendiri. Sudah menasihati tapi tak
dijalani.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallaahu ‘anhu,
dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seseorang didatangkan pada hari kiamat lalu
dilemparkan ke dalam neraka, hingga usus perutnya terburai, lalu dia
berputar-putar di dalam neraka seperti himar yang berputar-putar pada alat
penggilingnya. Lalu para penghuni neraka mengerumuninya seraya bertanya, ‘Wahai
Fulan, apa yang telah menimpamu? Bukankah engkau dahulu menyuruh kami kepada
yang ma’ruf dan mencegah kami dari yang munkar?’ Dia menjawab, ‘Memang aku dulu
menyuruh kalian kepada yang ma’ruf, tapi justru aku TIDAK melakukannya, dan aku
mencegah kalian dari yang mungkar, tapi aku justru melakukannya.”
(HR.Bukhari & Muslim)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Wahai
orang-orang yang beriman! Mengapa kamu MENGATAKAN sesuatu yang kamu TIDAK
KERJAKAN? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang
tidak kamu kerjakan.” (Qs. Ash-shaf: 2-3)
Kamu.. kamu… kamu… jangan sombong wahai jiwa… Kamu..
kamu… kamu… jangan merasa ‘ujub dan riya duhai manusia…
Dengan segala kelebihan yang kau punya. Sejatinya
kelebihanmu itu semua bak pisau bermata dua, yang dapat menghantarkanmu ke
surga, atau menjerumuskanmu ke dalam neraka. Ya, karena kelebihanmu itu dapat
menjadi karunia yang berbuah pahala, atau bencana yang berujung dosa.
—
Penulis: Fatihdaya Khoirani
Penulis: Fatihdaya Khoirani
Artikel Muslimah.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar