Nah teman-teman, kali ini aku share sebuah cerita yang menyedihkan dan mengharukan tentang perjuangan dan pengorbanan seorang adik kepada kakakknya, jujur pertama kali baca cerita ini, saya sempat menitikkan air mata, Subhanallah... :) Bahkan waktu SMP dulu, ada tugas drama, saya dan kawan-kawan menjadikan cerita ini sebagai drama kami :') Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi dan membawa hikmah bagi kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin .... :)
Aku
dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah
kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke
langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun
lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku
mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya.
Beliau
membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa
yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak
mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya
dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat
panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus
mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri
dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang
akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan
malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-
raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku
masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-
tahun telah lewat,tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada
saat yang sama,saya diterima untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di
halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus
demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…
hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana
mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat
itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca banyak buku.” Ayah
mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada
wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti
mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia
mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku
bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
“Seorang
anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau
tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai
pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak,
masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan
pergi mencari kerja dan mengirimu uang.” Aku
memegang kertas tersebut di atas tempat
tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun
itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan
uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya
sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan
keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh
badannya kotor tertutup debu semen dan
pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu
tidak bilang pada teman sekamarku kamu
adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum,
“Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan
mereka pikir jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air
mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata- kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kam adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana
pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku,
dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus
memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih
lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun
itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali
pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela
yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu untukmembersihkan
rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum,
“Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan
rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu..” Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus
jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan membalut
lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya
bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia
berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya,
dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun
itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika
aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak
pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan
dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan
apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak,
jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan
ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran
tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja
sebagai pekerja reparasi.
Suatu
hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan
listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku
pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan
sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu
tidak mau mendengar kami sebelumnya?” Dengan
tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja
jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti
apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!” “Mengapa membicarakan
masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu,
ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku
kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya,
“Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya
pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang
berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu
hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak
dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku dan baik
kepadanya.”
Tepuk
tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
“Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima
kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan
yang paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran
turun dari wajahku seperti aliran sungai.
Bagaimana teman? Sedih nggak? Mengharukan bukan? :') Tunggu kisah-kisah renungan lainnya yah :) Terima kasih sudah membaca...
4 komentar:
Iyah sedih ya
Ah biasa aja :D
BacanyA capek
klw kita baca ini dengan biasa sperti baca buku pasti terlihsat dan trasa biasa aja...
tpie beda klw kita coba hanyati isi di dalam crita ini,... pasti akan beda rasa nya.....
Posting Komentar